27 Februari 2010

Teknik Pemeriksaan Kedokteran Nuklir (MUGA – Scan)

1. PENGERTIAN
Disebut juga Sintigrafi Jantung Dinamik atau Hot Spot Technique atau Ventricular Function Study atau Pemeriksaan Fungsi Ventrikel adalah salah satu jenis pemeriksaan kedokteran nuklir pada organ jantung yang berfungsi untuk mengamati tingkat efisiensi pompa jantung.

2. INDIKASI
• Evaluasi sebelum dan sesudah pengobatan kemoterapi.
• Evaluasi myocarditis dan kardiomyopathy.
• Menghindari resiko pembedahan.
• Evailuasi sebelum transplantasi jantung.

3. RADIOFARMAKA
Tc-99m Pyrophosphate dengan dosis 15 mCi disuntikkan secara bolus intravena.

4. PERALATAN
• SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography).
• PECT (Positron Emission Computed Tomography).

5. PERSIAPAN PASIEN
 Tidak ada persiapan khusus.
 Inform Concent / Lembar persetujuan tindakan.

6. PROSEDUR PEMERIKSAAN
• Pasien diposisikan supine di atas meja pemeriksaan.
• Radiofarmaka disuntikkan secara bolus intravena pada vena mediana cubiti
• Tangan pasien diposisikan di atas kepala pasien.
• Pengambilan gambar dilakukan segera setelah penyuntikan untuk menilai presentasi cardiac output, pergerakan dinding otot, dan coronary ansifficiensi.
• Lama pemeriksaan ± 20 – 30 menit.
• Selama pemeriksaan pasien dianjurkan untuk tidak melakukan pergerakan.

7. EVALUASI HASIL MUGA – SCAN
NORMAL
Tidak ditemukan distribusi (penyimpangan) radiofarmaka dalam jantung.

ABNORMAL
Hot Spot Imaging, pergerakan dinding yang lambat, miskin cardiac output

Teknik Pemeriksaan Kedokteran Nuklir (Myocardial Perfusion/Sidik Jantung Statik)

1. PENGERTIAN
Disebut juga pemeriksaan Perfusi Miokardial atau Sintigrafi Jantung Statik atau Cold Spot Tecnique atau Thallium atau MIBI atau Myoview adalah salah satu jenis pemeriksaan kedokteran nuklir pada organ jantung yang berfungsi untuk mendeteksi aliran darah pada otot – otot jantung.

2. INDIKASI
• Evaluasi penderita dengan keluhan nyeri dada yang disertai gambaran EKG abnormal.
• Untuk penentuan viabilitas yang digunakan sebagai dasar penentuan stratifikasi risiko dan prognosis serta pemilihan terapi yang tepat.
• Untuk seleksi penderita yang memerlukan tindakan revaskularisasi, baik dengan cara operasi atau angioplasti.

3. PERALATAN
• SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography).
• PECT (Positron Emission Computed Tomography).

4. RADIOFARMAKA
a. Thallium – 201 Chloride (Tl–201 Chloride) dengan dosis 2 – 3 mCi.
b. Tc-99m MIBI atau Tetrofosmin dengan dosis 25 mCi

5. PERSIAPAN PASIEN
• Tidak ada persiapan khusus.
• Inform Concent / Lembar persetujuan tindakan.
• Sebelum dilakukan pemeriksaan, pasien disarankan untuk memindahkan perhiasan atau logam lain yang dikenakan karena dapat mempengaruhi proses pencitraan.
• Penderita dilarang minum teh, kopi atau coklat dari malam sebelum pemeriksaan.

6. PROSEDUR PEMERIKSAAN
• Radiofarmaka disuntikkan secara bolus intravena melalui vena mediana cubiti.
• Setelah radiofarmaka disuntikkan, lalu pasien dianjurkan untuk melakukan latihan (stress/exercise) dengan alat treadmill sampai maksimal dengan tujuan untuk meningkatkan aktivitas kardiovaskuler dan tekanan pada jantung.
• Segera dilakukan pengambilan gambar dalam kondisi stess dengan posisi supine di atas meja pemeriksaan.
• Pengambilan gambar selanjutnya dilakukan 2 – 3 jam untuk menentukan distribusi radiofarmaka pada kondisi non stress (rest).

7. EVALUASI HASIL
Normal
Distribusi radiofarmaka yang normal pada kedua kondisi stress maupun relaksasi (rest).

Abnormal
• Jika pada kedua kondisi mengalami non-perfusi, maka dicurigai infark myocardium.
• Bila ditemukan daerah yang abnormal perfusi pada kondisi stress, sedangkan normal pada kondisi relaksasi maka dicurigai adanya iskemia di bawah stress.

Teknik Pemeriksaan Kedokteran Nuklir (Thyroid Scintigraphy)

1. PROSEDUR PEMERIKSAAN

a. In Vitro
• Radioimmunoassay (RIA)
• Teknik pemeriksaan yang digunakan yaitu darah pasien 5 cc (dipisahkan antara plasma dan sel darah merah)
• Plasma darah + Larutan I-125 + Kit hormon triodothyronine (T3) dan thyroxine (T4)
• T3 dan T4 yang mengikat I-125 akan mengendap sedangkan yang tidak mengikat akan tetap dalam cairan
• Pisahkan endapan dan cairan
• Hitung aktivitas pada endapan dengan alat “ Well Type Counter “
• Hasil perhitungan dapat menentukan nilai T3 dan T4 dalam darah yang menggambarkan fungsi dari thyroid

b. In Vivo
• Up Take Thyroid
• Thyroid Scintigraphy

2. PEMILIHAN RADIONUKLIDA

I – 131
• Dengan waktu paruh 8,1 hari memungkinkan dapat disimpan.
• Energi gamma 364 keV mudah dideteksi dari luar tubuh.
• Memancarkan sinar beta sehingga dapat digunakan untuk internal radiasi pada hyperthyroidism (graves disease) dan kanker thyroid.

Tc – 99m
• Waktu paruhnya pendek (6,02 jam) sehingga beban radiasi terhadap pasien rendah.
• Energi gamma 140 keV, sangat efisien dideteksi oleh kristal skintilasi ukuran 3/8 – ½ inchi.
• Bentuk molekulnya sama dengan Iodium, sehingga dapat diserap oleh kelenjar thyroid namun mudah dilepas kembali.

I – 123
• Waktu paruhnya 13,3 jam.
• Energi gamma 159 keV.
• Dapat diproduksi melalui cyclotron.
Dari ke–3 radionuklida di atas, Tc-99m merupakan radionuklida yang sekarang banyak dipakai untuk pemeriksaan thyroid, sedangkan pada kasus post thyroidektomi untuk melihat ada tidaknya sisa thyroid masih dipakai I-131

3. INDIKASI
• Evaluasi nodul thyroid
• Evaluasi pembesaran kelenjar thyroid tanpa nodul yang jelas
• Evaluasi jaringan thyroid ektropik atau sisa pasca operasi
• Evaluasi fungsi thyroid

4. RADIOFARMAKA
• NaI– 131 dosis 300 µCi, diberikan per oral
• Tc-99m pertechnetate dengan dosis 2 – 5 mCi, diberikan secara intravena

5. PERALATAN
• Kamera gamma kolimator pinhole atau kolimator LEHR untuk Tc-99m pertechnetate dan energi medium untuk I – 131.
• Pemilihan kolimator tergantung pada energi radiasi gamma utama dari radionuklida yang digunakan.

6. PERSIAPAN PASIEN
• Bila yang digunakan NaI– 131, pasien dipuasakan selama 6 jam.
• Obat – obat dihentikan selama beberapa waktu.



7. PERSIAPAN PEMERIKSAAN
• Siapkan bahan radioaktif 99mTc didalam spuit dengan aktivitas 2 – 5 mCi pemberian dilakukan dengan penyuntikan intravena.
• Pemeriksaan dilakukan 10 - 15 menit setelah pemberian radiofarmaka.
• Pada kasus post thyroidektomi radiofarmaka yang dipakai NaI-131 dengan aktivitas 300 µCi diberikan per oral.
• Pemeriksaan dilakukan 24 jam setelah pemberian radiofarmaka.

8. TATALAKSANA
• Pencitraan dilakukan 10 – 15 menit setelah penyuntikan 99mTc pertechnetate intravena, atau 24 jam setelah minum NaI– 131.
• Pasien tidur terlentang dibawah kamera gamma dengan leher (± 10 cm) dalam keadaan hiperekstensi.
• Pencitraan statik dilakukan pada posisi AP (kalau perlu oblique kiri dan kanan).
• Pada kartilago thyroid dan jugulum diberi tanda marker.

9. PROSES PENGOLAHAN DATA
• Data yang didapat selama pemeriksaan diproses melalui komputer pengolah data.
• Hasil yang didapat berupa gambar thyroid serta perhitungan up take dan dengan bantuan formater difotokan pada film format







10. CATATAN
• Radionuklida yang paling ideal untuk evaluasi kelenjar tiroid adalah NaI-131, karena energinya tidak terlalu tinggi (159 keV) dengan waktu paruh pendek (13,2 jam). Sayangnya Nal-131 saat ini belum ada di Indonesia.
• Obat-obat tertentu, terutama yang mengandung iodium dan hormon tiroid akan mengganggu.

Teknik Pemeriksaan Kedokteran Nuklir (Bone Scintigraphy /Sidik Tulang)

1. DEFINISI
Prosedur pemeriksaan yang menggunakan bahan radioaktif untuk memperlihatkan dan mengidentifikasi abnormalitas yang terjadi pada tulang – tulang didalam tubuh.

2. INDIKASI
• Metastasis pada tulang
• Tumor tulang primer
• Osteomielitis
• Nekrosis Aseptik
• Trauma
• Kelainan sendi
• Penyakit metabolik pada tulang

3. RADIOFARMAKA
Tc-99m MDP (Methylenediphosphonate) dengan dosis 15 – 20 mCi

4. PERSIAPAN ALAT
• Kamera gamma planar dilengkapi data prosessor dengan kolimator LEHR
• Puncak energi: 140 KeV
• Window width : 20%

5. PERSIAPAN PASIEN
1) Tidak diperlukan persiapan khusus.
2) Beritahu dokter atau petugas, jika :
a. Sedang hamil atau menyusui
b. Beberapa hari sebelumnya telah melakukan pemeriksaan yang mengandung barium (misalnya barium enema) atau sedang mengkonsumsi obat yang mengandung bismuth (misalnya pepto-bismuth) karena kedua zat tersebut dapat berpengaruh terhadap hasil pemeriksaan.
3) Kurangi konsumsi cairan 4 jam sebelum pemeriksaan dilakukan, karena pasien akan diminta mengkonsumsi banyak cairan setelah perunut radioaktif disuntikkan.
4) Setelah perunut disuntikkan, pasien harus menunggu 1 – 3 jam sebelum bone scan dilakukan. Oleh karena itu pasien diperbolehkan membawa buku, majalah atau barang lainnya untuk memanfaatkan waktu pada saat menunggu pengambilan gambar.
5) Sebelum pemeriksaan dilakukan, lepaskan perhiasan atau benda logam lainnya yang dikenakan pasien dan yang kita kenakan, karena dapat menggangu pencitraan.

6. PROSEDUR PEMERIKSAAN
Pencitraan pada bone scintigrafi ini menggunakan metode 3 fase yaitu :

1. Fase Pertama (Vaskular)
a. Penderita tidur terlentang dengan detektor ditempatkan sedemikian rupa sehingga tubuh yang akan diperiksa berada diatas lapang pandang detektor.
b. Pemeriksaan fase pertama merupakan pemeriksaan dinamik dalam frame berukuran matrix 128 x 128 dengan waktu pencacahan 3 detik/frame selama 2 menit.
c. Posisi pencitraan adalah anterior dan atau posterior
d. Pencitraan dimulai bersamaan dengan saat penyuntikkan radiofarmaka secara bolus.

2. Fase Kedua (Blood Pool)
a. Pemeriksaan fase kedua dilaksanakan segera setelah fase pertama selesai berupa pencitraan statik dalam frame berukuran matrix 256 x 256 sebanyak 700 Kcount
b. Posisi pencitraan adalah anterior dan atau posterior

3. Fase Ketiga
a. Fase ketiga merupakan pemeriksaan statik yang dilakukan 3 jam pasca penyuntikan radiofarmaka.
b. Sebelum memasuki ruang pemeriksaan penderita dianjurkan buang air kecil dengan hati-hati untuk menghindari kontaminasi.
c. Pada pemeriksaan fase ketiga ini dilakukan pemeriksaan seluruh tubuh (whole body scan).
d. Posisi pencitraan adalah anterior dan Posterior dilanjutkan dengan pemeriksaan spot pada bagian-bagian yang mencurigakan.
e. Apabila diperlukan pemeriksaan dapat dilakukan pemeriksaan dengan posisi miring (oblique) untuk memperjelas lokasi kelainan.
f. Pemeriksaan dalam frame berukuran matrix 256 x 256 sebanyak 700 Kcounts.

7. EVALUASI HASIL
• Daerah tulang yang menyerap sedikit perunut atau bahkan tidak menyerap sama sekali disebut “Cold Spot”, yang menggambarkan bahwa suplai darah ke tulang tersebut kurang (infarksi tulang) atau memperlihatkan adanya kanker
• Daerah yang menyerap perunut banyak atau terlihat terang disebut “Hot Spot”, yang menggambarkan terjadinya tumor, fraktur, atau infeksi



21 Februari 2010

Teknik Pemeriksaan Kedokteran Nuklir (Renografi Pediatrik)

1. PENGERTIAN
Modifikasi dari renografi konvensional yang dapat membantu para klinisi dalam menegakkan diagnosa yang yang dilakukan pada anak-anak.

2. INDIKASI
Mendiagnosa awal dari follow up dari penyakit genitor-urinary pada anak-anak seperi infeksi saluran kemih (ISK), hidronephrosis neonatal, dan reflux vesikoureteral.

3. KONTRA INDIKASI
• Parameter fungsi ginjal seperti GFR dan aliran plasma ginjalnya rendah.
• Perkembangan tubulus ginjal kurang sempurna dibanding dengan glomerulus.

4. RADIOFARMAKA
Tc– 99m MAG3 pada usia 2-4 minggu setelah lahir. Dosis yang digunakan menggunakan parameter skala atau tergantung pada berat badan bayi dan luas permukaan tubuh.

5. PERSIAPAN ALAT
 Kamera gamma dengan kolimator jenis general – purpose atau high sensitivity
 Matriks 64 x 64 pixels
 Akusisi frame 10 – 20 detik
 Lama pemeriksaan 30 – 40 menit
6. PERSIAPAN PASIEN
• Menjaga status hidrasi pasien selama pemeriksaan.
• Penderita diberikan volume cairan sesuai dengan berat badan.
• Tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan renogram bersamaan dengan pemeriksaan IVP.
• Penderita harus mengosongkan vesika urinaria sebelum pemeriksaan.
• Pasien telah dipasang kateter sebelum dilakukan renografi.
• Pada pemakaian radiofarmaka I-131 Hippuran, penderita sebelumnya diberikan larutan lugol 10 tetes untuk memblok jaringan tiroid agar tidak menangkap I-131.

7. PROSEDUR PEMEERIKSAAN
1) Pasien supine atau tidur terlentang dengan kamera gamma berada di posterior atau punggung pasien.
2) Duduk atau setengah duduk agar lebih fisiologis.
3) Radiofarmaka disuntikkan pada vena mediana kubiti secara bolus.
4) Deteksi ditempatkan sedemikian rupa hingga ginjal dan kandung kemih berada dalam lapang pandang pencitraan.

8. PEMROSESAN DATA
Seluruh data kasar digabung, kemudian dibuat ROI pada kedua ginjal serta di bawah kedua ginjal untuk substraksi latar belakang untuk membuat kurva waktu-aktivitas.

9. FASE PENILAIAN KURVA NORMAL
1) Fase Initial
• Terjadi peningkatan secara cepat segera setelah penyuntikan radiofarmaka yang menunjukkan kecepatan injeksi dan aliran darah vaskular ke dalam ginjal.
• Menunjukkan teknik penyuntikan radiofarmaka, apakah bolus atau tidak.
• Terjadi kurang dari 2 menit.

2) Fase Sekresi
• Menunjukkan kenaikan yang lebih lamban dan meningkat secara bertahap
• Fase ini berkaitan dengan proses penangkapan radiofarmaka oleh dan di dalam ginjal melalui proses difusi lewat sel-sel tubuli ke dalam lumen tubulus
• Dalam keadaan normal fase ini mencapai puncak dalam waktu 2 – 5 menit

3) Fase Ekskresi
• Tampak kurva menurun dengan cepat setelah mencapai puncak kurva yang menunjukkan keseimbangan antara radioaktivitas yang masuk dan meninggalkan ginjal.
• Menggambarkan pola urodinamik dari ginjal dan pola eliminasi melalui sistem pelvikalises menuju ke ureter dan vesika urinaria, sehingga fase ini sangat sensitif untuk kelainan pada saluran kemih.

Teknik Pemeriksaan Kedokteran Nuklir (Renografi Transplantasi Ginjal)

1. PENGERTIAN
Modifikasi dari renografi konvensional yang dapat membantu para klinisi dalam menegakkan diagnosa yang berhubungan dengan transplantasi ginjal

2. INDIKASI
• Follow up pasien pasca operasi transplantasi ginjal
• Mendeteksi terjadinya resiko komplikasi pada pasien
• Menilai fungsi ginjal pada calon donor yang sehat (memastikan bahwa ginjal yang akan didonorkan adalah ginjal yang baik dan tidak akan membahayakan bagi pasien penerimanya)

3. KOMPLIKASI TRANSPLANTASI GINJAL
• Rejesi (Penolakan)
• Acute Tubular Necrosis (ATN)
• Obstruksi Ureter
• Stenosis Arteri Renalis (SAR)
• Thrombosis Vena Renalis
• Infeksi
• Toksisitas Siklosporin

4. PERALATAN
 Kamera gamma dengan kolimator jenis general – purpose atau high sensitivity
 Matriks 64 x 64 pixels
 Akusisi frame 10 – 20 detik
 Lama pemeriksaan 30 – 40 menit

5. RADIOFARMAKA
• Tc– 99m MAG3 dengan dosis 2,5 mCi
• Tc– 99m DTPA dengan dosis 5 mCi
• I– 123 Hippuran dengan dosis 2 mCi

6. PERSIAPAN PASIEN
• Menjaga status hidrasi pasien selama pemeriksaan.
• Penderita dewasa : minum 400 ml air 20-30 menit sebelum pemeriksaan.
• Penderita anak-anak : diberikan volume cairan sesuai dengan berat badan.
• Tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan renogram bersamaan dengan pemeriksaan IVP.
• Penderita harus mengosongkan vesika urinaria sebelum pemeriksaan.
• Pada pemakaian radiofarmaka I-131 Hippuran, penderita sebelumnya diberikan larutan lugol 10 tetes untuk memblok jaringan tiroid agar tidak menangkap I-131.

7. PROSEDUR PEMEERIKSAAN
• Pasien supine atau tidur terlentang dan kamera gamma berada di anterior fossa illiaka di daerah abdomen bagian bawah dan pelvis.
• Radiofarmaka disuntikkan pada vena mediana kubiti secara bolus.
• Citra diambil pada interval 1 detik setelah radiofarmaka disuntikkan selama 60 detik.

8. PEMROSESAN DATA
• Seluruh data kasar digabung, kemudian dibuat ROI pada kedua ginjal serta di bawah kedua ginjal untuk substraksi latar belakang untuk membuat kurva waktu-aktivitas.
• ROI background dibuat pada daerah fossa illiaka kontra lateral, karena mencerminkan aktivitas jaringan di sekitar transplantasi ginjal.
• ROI background tidak boleh dibuat pada daerah pelvis, ureter, dan vesika urinaria.
• ROI harus dibuat konsisten selama pemeriksaan renografi secara serial.

9. PARAMETER PENILAIAN
• Bladder Appearance Time
• Rasio ginjal-vesika urinaria
• Waktu puncak renografi
• Indeks akskresi
• Indeks perfusi
• Rasio ginjal aorta

10. METODE PENILAIAN FUNGSI GINJAL DAN PERFUSI GINJAL
a. Indeks Perfusi
• Menghitung indeks perfusi ROI dibuat pada ginjal dan arteri illiaka yang kemudian dibuat kurva aktivitas terhadap waktu.
• Jika tidak ada aliran darah ke ginjal yang ditransplantasi maka nilai indeks perfusi akan meningkat.

b. Rasio Ginjal-Aorta
• Menggunakan kurva aktivitas terhadap waktu dari ginjal dan aorta.
• Nilai rasio akan menurun bila tidak ada perfusi ke ginjal.

Teknik Pemeriksaan Kedokteran Nuklir (Renografi Kaptopril)

1. PENGERTIAN
Merupakan modifikasi dari renografi konvensional yang dapat membantu para klinisi dalam menegakkan diagnosa pada hipertensi renovaskuler (HTRV).

2. PRINSIP PEMERIKSAAN
Dengan memberikan 25 – 50 mg kaptopril sebelum pemeriksaan atau dengan memberikan 2,5 mg enalapril.

3. KAPTOPRIL
Adalah salah satu obat yang termasuk dalam golongan ACE Inhibitor yang dapat digunakan sebagai suatu stressor pada ginjal.

Fungsi Kaptopril
• Memperburuk atau membuat gangguan fungsi dari ginjal pada kasus renovaskuler tetapi bukan pada kasus hipertensi esensial.
• Meningkatkan aliran darah sehingga memperbaiki fungsi ginjal.
• Menghambat vasokontriksi arteriolar glomerulus, aliran urin, dan retensi garam di ginjal yang sakit.
• Pada ginjal dengan SAR (Stenosis Arteri Renalis), penurunan fungsi akan terlihat setelah pemberian katopril.

4. INDIKASI
Hipertensi Renovaskuler (HTRV)

5. RADIOFARMAKA
Tc– 99m MAG3 sebanyak 5 mCi atau 300 µCi I-131 Hippuran disuntikkan intravena secara bolus melalui vena mediana cubiti

6. PERSIAPAN PENDERITA
• Penderita dewasa minum 400 ml air 20-30 menit sebelum pemeriksaan.
• Penderita anak-anak diberikan volume cairan sesuai dengan berat badan.
• Tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan renogram bersamaan dengan pemeriksaan IVP1 jam sebelum pemeriksaan, penderita diberikan 25 – 50 mg kaptopril atau 2,5 mg enalapril per oral.
• Penderita harus mengosongkan vesika urinaria sebelum pemeriksaan.
• Tekanan darah dipantau sebelum pemberian kaptopril dan setiap interval waktu 5 menit setelah pemberian kaptopril.
• Jika tekanan diastol turun sebesar 10 mmHg atau lebih selama pemantauan, maka ini merupakan tanda bahwa efek kaptopril telah bekerja dan renografi sudah bisa dimulai.
• Jika hal ini (point 4) tidak terjadi maka pemeriksaan dapat dimulai 1 jam setelah pemberian kaptopril.
• Penderita dianjurkan puasa minimum 4 jam sebelum pemberian kaptopril, namun selama puasa penderita diperbolehkan minum air putih agar status hidrasi pada pasien tetap terjaga
• Penderita diperintahkan untuk menghentikan obat-obatan antara lain ACE Inhibitor selama ± 3 hari dan obat Agiotensin II dan diuretik selama 2 hari
• Apabila radiofarmaka yang digunakan 131I – Hippuran maka 15 menit sebelum pemeriksaan penderita diberikan 1 cc larutan lugol.

7. PERALATAN
• Kamera gamma dengan kolimator LEHR untuk Tc-99m MAG3 dan medium energy collimator untuk I-131 Hippuran.
• Energy setting untuk low energy pada puncak 140 keV dan medium energy pada puncak 364 keV
• Window width : 20%
• Teknik pencitraan dinamik
• Matrix 128 x 128 pixels
• Protokol akusisi : Frame / time I : 6 frame / 10 detik
• Protokol akusisi : Frame / time II : 15 frame / 1 menit

8. PROSEDUR PEMERIKSAAN
• Posisi penderita supine atau tidur terlentang.
• Detektor ditempatkan sedemikian rupa hingga ginjal dan vesika urinaria berada dalam lapang pandang pencitraan dari proyeksi posterior.
• Radiofarmaka dan kaptopril disuntikkan pada vena mediana kubiti secara bolus

9. PEMROSESAN DATA
Seluruh data kasar digabung, kemudian dibuat ROI pada kedua ginjal serta dibawah kedua ginjal untuk substraksi latar belakang yang kemudian didapatkan kurva aktivitas terhadap waktu.

10. PENILAIAN
Penilaian pada umumnya berdasarkan penilaian kuantitatif terhadap kurva renogram. Penilaian semi kuantitatif berdasarkan rekomendasi Working Party on Diagnostic Criteria of Renovascular Hypertension with Captopril Renography adalah sebagai berikut :
1) Derajat 0 menunjukkan keadaan normal
2) Derajat 1 dapat menunjukkan perlambatan ringan dari fase sekresi (fase 2) atau penurunan aktivitas maksimal atau waktu puncak abnormal yaitu sektar 6-11 menit atau fase sekresi turun dengan lamban
3) Derajat 2A menunjukkan perlambatan fase sekresi dan Tmaks, dengan fase ekskresi
4) Derajat 2B menunjukkan perlambatan fase sekresi, Tmaks tanpa fase ekskresi
5) Derajat 3 menunjukkan penurunan yang nyata atau penangkapan radiofarmaka tidak ada sama sekali

11. NILAI
• Probabilitas tinggi untuk hipertensi renovaskular, bila perubahan dari satu atau lebih derajat (termasuk 2A>2B) pra dan pasca kaptopril
• Probabilitas rendah ditunjukkan pada derajat 0 pasca kaptopril
• Intermidiate menunjukkan renografi awal abnormal tanpa ada perbedaan antara pra dan pasca kaptopril

12. PENILAIAN KUANTITATIF LAIN
• Perubahan fungsi terpisah (split renal function) dengan nisbah 60% – 40%.
• Perpanjangan waktu transit parenkim.
• Aktivitas residual korteks (cacahan pada 20 – 30 menit versus cacahan pada puncak).
• Perubahan laju filtrasi glomerulus total (penurunan 15% atau lebih) yang berguna untuk mendeteksi stenosis arteri renalis bilateral atau pada pasien dengan hanya satu ginjal.





Teknik Pemeriksaan Kedokteran Nuklir (Renografi Diuretik)

1. PENGERTIAN
Merupakan salah satu metode pemeriksaan kedokteran nuklir pada pasien dengan dilatasi saluran kemih bagian atas dan follow up pasien dengan hidronephrosis.

2. PRINSIP PEMERIKSAAN
• Menggunakan furosemide karena efeknya bersifat diuretik yang menghambat reabsorpsi garam dan air di limb asenden ansa henle.
• Sifat diuretik tergantung pada fungsi ginjal.

3. FUROSEMIDE
Adalah golongan obat loop diuretics. Durasi kerja dari furosemide 2 – 3 jam. Fungsi dari furosemide:
• Menghambat secara selektif reabsorpsi dari NaCl pada tubulus kontortus asenden ansa henle.
• Menghambat sistem trasport Na+/K+/2Cl- pada membran lumen di tubulus kontortus desenden ansa henle.
• Meningkatkan aliran darah ke ginjal dan menyebabkan redistribusi dari aliran darah di dalam korteks ginjal.
• Meningkatkan jumlah volume urin dan meningkatkan kadar potasium pada pasien dengan gagal ginjal akut.

Kontra Indikasi Furosemide
• Alergi furosemide
• Sirosis hepatik
• Gagal ginjal borderline
• Gagal jantung kongesif

Dosis Furosemide
Menurut Society of Nuclear Medicine & European Nuclear Medicine Association adalah 1 mg/kg berat badan. Dosis maksimum untuk anak – anak 20 mg dan dewasa 40 mg.

4. INDIKASI
• Mengetahui lebih lanjut tingkat obstruksi apakah total atau parsial
• Hidronephrosis
• Hidroureteronephrosis

5. PERSIAPAN PASIEN
• Penderita dewasa minum 400 ml air 20-30 menit sebelum pemeriksaan.
• Penderita anak-anak diberikan volume cairan sesuai dengan berat badan.
• Tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan renogram bersamaan dengan pemeriksaan IVP.
• Penderita harus mengosongkan vesika urinaria sebelum pemeriksaan.
• Pada pemakaian radiofarmaka I-131 Hippuran, penderita sebelumnya diberikan larutan lugol 10 tetes untuk memblok jaringan tiroid agar tidak menangkap I-131.
• Sebelum pemeriksaan hendaknya pasien dilakukan USG dengan tujuan melihat hidronephrosis bilateral atau unilateral, dilatasi dari ureter, dan duplikasi ginjal.
• Disarankan sebaiknya pasien dalam status cukup terhidrasi dengan volume urine yang cukup (tahan miksi).

6. RADIOFARMAKA
• Tc– 99m MAG3 dengan dosis 2,5 mCi
• Tc– 99m DTPA dengan dosis 5 mCi
• Tc– 99m EC dengan dosis 2,5 mCi
• I– 123 Hippuran dengan dosis 2 mCi

7. PROTOKOL PEMILIHAN WAKTU PENYUNTIKAN DIURETIK
a. Radiofarmaka + 20 (F+20)
Volume pelvis ginjal penuh pada 20 menit setelah radiofarmaka disuntikkan (furosemide diberikan 20 menit setelah radiofarmaka).

b. Radiofarmaka – 15 (F – 15)
Furosemide diberikan 15 menit sebelum radiofarmaka disuntikkan. Pada menit 15 – 18 setelah penyuntikkan furosemide volume urin tinggi, sehingga akan didapat nilai urine yang maksimal pada saat penyuntikkan radiofarmaka.

c. Radiofarmaka + 0 (F – 0)
Furosemide disuntikkan secara intravena segera setelah penyuntikkan radiofarmaka. Hasilnya tidak berbeda jauh dengan F – 15. Dapat mengurangi frekuensi gangguan pada saat pencitraan oleh pasien yang disebabkan keinginan pasien untuk miksi. Metode ini nyaman digunakan pada pasien bayi dan anak-anak, karena tidak perlu melakukan penyuntikkan sebanyak 2 kali.

8. PERALATAN
• Kamera gamma, dengan kolimator LEHR untuk Tc– 99m MAG3 dan medium energy collimator untuk I-131 Hippuran
• Energy setting untuk low energy pada puncak 140 keV dan medium energy pada puncak 364 keV
• Window width setting : 20 %
• Teknik pencitraan dinamik
• Matrix 128 x 128 pixels
• Protokol akusisi : Frame / time I = 6 frame / 10 detik selama 1 menit
• Protokol akusisi : Frame / time II = 25 frame / 1 menit selama 25 menit

9. PROSEDUR PEMERIKSAAN
• Posisi pasien supine atau tidur terlentang.
• Detektor ditempatkan sedemikian rupa sehingga ginjal dan vesica urinaria berada dalam lapang pandang pencitraan dari proyeksi posterior.
• Radiofarmaka disuntikkan pada vena mediana kubiti secara bolus
• Berikan radiofarmaka dan furosemide sesuai dengan protokol pemilihan waktu penyuntikkan yang digunakan.
• Total waktu pemeriksaan adalah protokol pemilihan waktu penyuntikan yang dipilih ditambah 10 menit.

10. PEMROSESAN DATA
Seluruh data kasar digabung, kemudian dibuat ROI pada kedua ginjal serta dibawah kedua ginjal untuk substraksi latar belakang yang kemudian didapatkan kurva aktivitas terhadap waktu.

11. EVALUASI KURVA RENOGRAM DIURETIK TERHADAP RESPON FUROSEMIDE
• Pemberian furosemide tidak merubah bentuk kurva obstruksi (fase III naik terus), gambaran demikian dikenal sebagai gambaran obstruksi total.
• Pemberian furosemide menyebabkan perubahan kurva renogram dengan cepat dan eksresinya menjadi sangat efektif. Gambaran ini ditemukan pada hidronephrosis non obstruksi atau dilatasi hipotonik
• Pengaruh furosemide pada kurva obstruksi hanya bersifat parsial, tidak cepat dan eksresinya lambat. Gambaran demikian menunjukkan adanya obstruksi atau subtotal.

12. PARAMETER KUANTITATIF
Adalah parameter-parameter yang digunakan untuk menilai respon ginjal terhadap pemberian furosemide.

a. Jenis-Jenis Parameter Kuantitatif
• Time of peak (waktu puncak)
• Peak of half (waktu untuk mengeksresikan 50% dari radiofarmaka)
• Output efisiensi
• Efisiensi ekskresi pelvis ginjal
• Indeks waktu transit parenkim
• Aktivitas residu terkoreksi

Catatan
Pemeriksaan tidak dapat menilai respon diuretik secara akurat jika fungsi ginjal berkurang secara bermakna. Hasil pencitraan juga tidak dapat dinilai bila perunut banyak terkumpul di pelvis ginjal.



Teknik Pemeriksaan Kedokteran Nuklir (Renografi Konvensional)

1. PENGERTIAN
Disebut juga pemeriksaan radionuklida ginjal dinamik, dengan prinsip pemeriksaan dengan menilai penangkapan radionuklida oleh ginjal yang dialirkan melalui nephron dan dieksresikan ke dalam pelvis ginjal dan kemudian melalui ureter sampai dengan kandung kemih. Kurva hasil pemeriksaannya menunjukkan perubahan aktivitas ginjal terhadap waktu yang menggambarkan fisiologis ginjal seperti fungsi penangkapan, waktu transit dan efisiensi outflow.

2. INDIKASI
 Obstruktif Uropati
 Transplantasi Ginjal
 Kelainan kongenital pada ginjal
 Evaluasi trauma saluran kemih
 Gagal ginjal akut dan kronis
 Uji saring hipertensi renovaskular

3. PERALATAN
 Kamera gamma dengan kolimator jenis general – purpose atau high sensitivity
 Matriks 64 x 64 pixels
 Akusisi frame 10 – 20 detik
 Lama pemeriksaan 30 – 40 menit

4. RADIOFARMAKA
• Tc– 99m MAG3 dengan dosis 2,5 mCi
• Tc– 99m DTPA dengan dosis5 mCi
• Tc– 99m EC dengan dosis2,5 mCi
• I– 123 Hippuran dengan dosis2 mCi

5. PERSIAPAN PASIEN
• Menjaga status hidrasi pasien selama pemeriksaan.
• Penderita dewasa : minum 400 ml air 20-30 menit sebelum pemeriksaan.
• Penderita anak-anak : diberikan volume cairan sesuai dengan berat badan.
• Tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan renogram bersamaan dengan pemeriksaan IVP.
• Penderita harus mengosongkan vesika urinaria sebelum pemeriksaan.
• Pada pemakaian radiofarmaka I-131 Hippuran, penderita sebelumnya diberikan larutan lugol 10 tetes untuk memblok jaringan tiroid agar tidak menangkap I-131.

6. PROSEDUR PEMEERIKSAAN
1) Pasien supine atau tidur terlentang dengan kamera gamma berada di posterior atau punggung pasien.
2) Duduk atau setengah duduk agar lebih fisiologis.
3) Radiofarmaka disuntikkan pada vena mediana kubiti secara bolus.
4) Deteksi ditempatkan sedemikian rupa hingga ginjal dan kandung kemih berada dalam lapang pandang pencitraan.

7. PEMROSESAN DATA
Seluruh data kasar digabung, kemudian dibuat ROI pada kedua ginjal serta di bawah kedua ginjal untuk substraksi latar belakang untuk membuat kurva waktu-aktivitas.

8. FASE PENILAIAN KURVA NORMAL
1) Fase Initial
• Terjadi peningkatan secara cepat segera setelah penyuntikan radiofarmaka yang menunjukkan kecepatan injeksi dan aliran darah vaskular ke dalam ginjal.
• Menunjukkan teknik penyuntikan radiofarmaka, apakah bolus atau tidak.
• Terjadi kurang dari 2 menit.

2) Fase Sekresi
• Menunjukkan kenaikan yang lebih lamban dan meningkat secara bertahap
• Fase ini berkaitan dengan proses penangkapan radiofarmaka oleh dan di dalam ginjal melalui proses difusi lewat sel-sel tubuli ke dalam lumen tubulus
• Dalam keadaan normal fase ini mencapai puncak dalam waktu 2 – 5 menit

3) Fase Ekskresi
• Tampak kurva menurun dengan cepat setelah mencapai puncak kurva yang menunjukkan keseimbangan antara radioaktivitas yang masuk dan meninggalkan ginjal.
• Menggambarkan pola urodinamik dari ginjal dan pola eliminasi melalui sistem pelvikalises menuju ke ureter dan vesika urinaria, sehingga fase ini sangat sensitif untuk kelainan pada saluran kemih.

9. FASE PENILAIAN KURVA ABNORMAL
• Jika ginjal tidak berfungsi maka penangkapan radioaktivitas akan minimum atau tidak ada sama sekali.
• Kurva akan berjalan datar/tidak beraturan karena pada kurva tersebut hanya menggambarkan aktivitas background saja.
• Pada kasus obstruksi total, vesika urinaria tidak tampak. Fase kedua akan tampak naik terus dan tidak terlihat adanya fase ketiga.

10. PARAMETER TAMBAHAN PADA PENILAIAN HASIL RENOGRAM
a. Waktu Transit Seluruh Ginjal (Whole Kidney Transit Time/WKTT)
Adalah waktu total yang dibutuhkan radiofarmaka untuk transit melalui parenkim ginjal dan pelvis atau jumlah antara waktu transit parenkim rata-rata (Mean Parenchyma Transit Time/MPTT) dan Waktu transit pelvis (Pelvic Transit Time/PvTT). Nilai normal MPTT adalah 100 – 200 detik.

b. Indeks Waktu Transit Parenkim (Parenchymal Transit Time Index / PTTI) dan Indeks Waktu Transit Seluruh Ginjal (Whole Kidney Transit Time Index / WKTTI)
PTTI adalah MPTT dikurangi Waktu Transit Minimum (MinTT), nilai normal PTTI adalah 10 – 156 detik. WKTTI adalah WKTT dikurangi MinTT, nilai normal WKTTI adalah 20 – 170 detik.

Teknik Radiografi COR Analisa

1. DEFINISI
Pemeriksaan secara radiologi untuk menilai kemungkinan kelainan pada jantung dengan menggunakan media kontras positif.

2. FUNGSI
• Diagnosis anatomi
• Diagnosis fisiologi (keras denyutan, ritme/irama, denyutan abnormal)
• Fungsional capacity
• Upaya menetapkan etiologi penyakit

3. INDIKASI
• Pembesaran ventrikel
• Pembesaran atrium
• Mitral/bikuspidalis stenosis
• Mitral/bikuspidal defect
• Inter ventrikel defect
• Inter atrium defect
• Mitral / trikuspidal insufficiency

4. KONTRA INDIKASI
• Kondisi umum pasien jelek
• Sensitif terhadap bahan media kontras
• Adanya komplikasi perforasi pada oesophagus yang tidak diketahui sebelumnya

5. PROSEDUR COR ANALYSA
5.1 Persiapan Pasien
Tidak ada persiapan khusus pada pasien hanya berupa penjelasan tentang prosedur COR Analisa.

5.2 Alat dan Bahan
• Pesawat + fluoroskopi
• Baju pasien
• Gonad shield
• Kaset + film ukuran 35 x 35 cm
• Grid
• X-ray marker
• Tissue / kertas pembersih
• Bahan kontras
• Air masak
• Sendok/sedotan
• BaSO4 : Air = 3 : 1 – 4 : 1

5.3 Proyeksi Pemotretan

a. Proyeksi PA
PA dengan 6 feet = (teleroentgenogram) untuk maksimalkan magnifikasi 5-10%

Posisi Pasien
Sedapat mungkin dalam posisi erect

Posisi Obyek
• Tepi IR pada jarak 5 cm di atas shoulder joint
• Kedua dorsum manus endorotasi diletakkan di atas SIAS
• Siku didorong ke depan

Central Ray
Tegak lurus terhadap IR

Central Point
Pada MSP setinggi Thoracal 6-7

FFD
180 cm
Expose pada saat tahan nafas setelah menelan barium pekat

Kriteria Radiografi
• Tampak gambaran oesophagus terisi barium yang overlapping dengan gambaran jantung
• Tidak ada rotasi dari tubuh, kedua sternoclavicular joint simetris
• Seluruh thorax tercover pada film
• Eksposi cukup mampu menunjukkan struktur oesophagus dan jantung
• Gambaran tajam pada tepi menunjukkan tidak ada pergerakan obyek

b. Proyeksi PA OBLIQUE (RAO dan LAO)

Posisi Pasien
Sedapat mungkin dalam posisi erect

Posisi Obyek
• Tepi atas IR pada jarak 5 cm diatas shoulder joint
• Tubuh diatur oblique dengan midaxillary plane membentuk sudut 45˚- 55˚ sisi tubuh kanan depan menempel pada film (RAO)
• Tubuh diatur oblique dengan midaxillary plane membentuk sudut 45˚- 55˚ sisi tubuh kiri depan menempel pada film (LAO)
• Tangan kanan diatur pada hip di belakang tubuh, tangan kiri berpegang pada atas kaset, shoulder pada ketinggian yang sama (RAO)
• Tangan kiri diatur pada hip di belakang tubuh, tangan kanan berpegang pada atas kaset, shoulder pada ketinggian yang sama (LAO)
• Tidak ada rotasi pada kepala

Central Ray
Tegak lurus terhadap IR

Central Point
Pada jarak 7 cm lateral kiri MSP setinggi Thoracal 6-7 (RAO)
Pada jarak 7 cm lateral kanan MSP setinggi Thoracal 6-7 (LAO)

FFD
180 cm
Expose pada saat tahan nafas setelah menelan barium pekat

Kriteria Radiografi
• Tampak gambaran oesophagus terisi barium berada diantara c. v. vertebra Thoracal dan jantung
• Seluruh thorax tercover pada film
• Eksposi cukup mampu menunjukkan struktur oesophagus dan jantung
• Gambaran tajam pada tepi menunjukkan tidak ada pergerakan obyek

c. Proyeksi AP OBLIQUE (RPO dan LPO)

Posisi Pasien
Sedapat mungkin dalam posisi erect

Posisi Obyek
• Tepi atas IR pada jarak 5 cm diatas shoulder joint
• Tubuh diatur oblique dengan midaxillary plane membentuk sudut 45˚- 55˚ sisi tubuh kanan belakang menempel pada film (RPO)
• Tubuh diatur oblique dengan midaxillary plane membentuk sudut 45˚- 55˚ sisi tubuh kiri belakang menempel pada film (LPO)
• Tangan kanan diangkat semaksimal mungkin dan diletakkan di atas kepala, tangan kiri diatur pada hip di belakang tubuh, shoulder pada ketinggian yang sama (RPO)
• Tangan kiri diangkat semaksimal mungkin dan diletakkan di atas kepala, tangan kanan diatur pada hip di belakang tubuh, shoulder pada ketinggian yang sama (LPO)
• Tidak ada rotasi pada kepala

Central Ray
Tegak lurus terhadap IR

Central Point
Pada jarak 7 cm lateral kiri MSP setinggi Thoracal 6-7 (RPO)
Pada jarak 7 cm lateral kanan MSP setinggi Thoracal 6-7 (LPO)

FFD
180 cm
Expose pada saat tahan nafas setelah menelan barium pekat

Kriteria Radiografi
• Tampak gambaran oesophagus terisi barium berada diantara c. v. vertebra Thoracal dan jantung
• Seluruh thorax tercover pada film
• Eksposi cukup mampu menunjukkan struktur oesophagus dan jantung
• Gambaran tajam pada tepi menunjukkan tidak ada pergerakan obyek

d. Proyeksi Lateral

Posisi Pasien
Sedapat mungkin dalam posisi erect

Posisi Obyek
• Tepi atas IR berjarak 5 cm di atas shoulder joint
• Tubuh diatur true lateral, kedua tangan bertemu di atas kepala
• Tidak ada rotasi dari kepala

Central Ray
Tegak lurus terhadap IR

Central Point
Pada midaxillary line setinggi Thoracal 6-7

FFD
180 cm
Expose pada saat tahan nafas setelah menelan barium pekat

Kriteria Radiografi
• Tampak gambaran oesophagus terisi barium berada di pertengahan lapangan paru
• Seluruh thorax tercover pada film
• Eksposi cukup mampu menunjukkan struktur oesophagus dan jantung
• Gambaran tajam pada tepi menunjukkan tidak ada pergerakan obyek

Teknik Radiografi Benda Asing

1. PENGERTIAN
Teknik radiografi benda asing adalah teknik pencitraan radiografi untuk memperlihatkan benda yang secara tidak sengaja/seharusnya berada/masuk ke dalam tubuh dan mengganggu sistem/sirkulasi fisioligis tubuh

2. TUJUAN
• Menentukan letak benda asing dalam sistem tubuh
• Menentukan jenis benda asing yang masuk dalam tubuh
• Menentukan kedalaman benda asing dari permukaan tubuh

3. JENIS BENDA ASING
• Benda Asing Opaque : Nomor atom lebih tinggi dari jaringan sekitar misal logam
• Benda Asing Non opaque : Nomor atom lebih rendah dari jaringan sekitar misal non logam

4. PROSEDUR PEMERIKSAAN
Pemeriksaan dilakukan sesuai dengan masuknya benda asing ke dalam sistem/organ tubuh. Plain foto dibuat sesuai letak masuknya benda asing. Luka tempat masuknya benda asing diberi marker steril. Misalkan peluru pada femur, maka foto yang dibuat femur AP dan Lateral. Bila benda asing lebih dari 1 buah, dilakukan dengan penomoran sesuai dengan letak benda asing seperti 1, 2, 3, dan seterusnya. Central ray dan central point sesuai dengan proyeksi organ yang difoto. Faktor eksposi yang digunakan disesuaikan dengan jenis benda asing, jika benda asing opaque maka digunakan faktor eksposi standar sedangkan benda asing non opaque digunakan faktor eksposi untuk jaringan (soft tissue). Penentuan kedalaman benda asing dilakukan dengan teknik right angle projection : proyeksi AP dan lateral dengan bantuan jarum saling tegak lurus, minimal dua jarum tegak lurus.

5. JENIS TEKNIK RADIOGRAFI BENDA ASING
5.1 Teknik Radiografi Benda Asing pada Sistem /Traktus
Dilakukan plain foto untuk mensurvey daerah oesofagus sampai dengan abdomen. Bila benda asing jenisnya opaque, lanjutkan foto AP dan lateral dimana benda asing itu berada sedangkan jika benda asing non opaque, gunakan media kontras sesuai pemeriksaan tractus digestivus, dengan prinsip :
• Sebaiknya digunakan fluoroskopi.
• Buat foto AP dan Lateral pada lokasi benda asing.

Bila benda asing berada pada tractus digestivus atas (oesofagus), gunakan BaSO4 dan kapas dengan melakukan oesofagografi. Bila benda asing sudah masuk lambung, dievaluasi sampai dengan duodenum-iluem-colon. Setelah itu dilakukan plain foto pada daerah thorax (trachea) dan disurvey sampai dengan abdomen. Bila hasil foto plain memperlihatkan benda asing masuk pada organ respiratori, maka sebaiknya dilakukan teknik lokalisir dengan bantuan fluoroskopi. Bila benda asing ternyata berada pada jaringan sekitar organ respiratori, misalnya daerah axilla atau scapula, maka harus dapat memperlihatkan daerah tidak superposisi dengan benda asing yang dicari. Bila benda asing masih berada di daerah :

• Pernafasan atas buat plain foto nasal AP dan lateral.
• Laring buat foto soft tissue leher AP dan Lateral
• Bronkus buat foto bronchografi dengan media kontras positif
• Daerah jaringan intercostal buat foto AP dan Lateral thorax dengan central point pada luka masuknya benda asing. Selain itu juga didukung dengan menggunakan proyeksi tangensial dan teknik lokalisir (paralax dan triangulasi)

5.2 Teknik Radiografi Benda Asing pada Bola Mata

Persiapan Pasien
• Informasikan segala sesuatu tentang pemeriksaan, supaya pasien dapat mengikuti petunjuk petugas dan tidak banyak bergerak.
• Melepaskan semua benda yang dapat mengganggu pemeriksaan / hasil radiograf.

Persiapan Alat dan Bahan
• Alat yang digunakan disesuaikan metode yang dipilih.
• Metode pemeriksaan benda asing pada bola mata yang digunakan disesuaikan dengan ketersediaan alat yang ada di rumah sakit dan kondisi pasien.

Tujuan
• Mengevaluasi ada tidaknya benda asing radiopaque.
• Menentukan letak benda asing.
• Menentukan kedalaman benda asing.

Metode Sederhana

a. Proyeksi Lateral
Posisi Pasien
Semiprone

Posisi Obyek
• MSP kepala sejajar dengan kaset
• Inter Pupilaryline tegak lurus
• Outer cantus yang sakit ditengah kaset

Central Ray
Tegak lurus kaset

Central Point
Outer cantus

FFD
90-100 cm
Ekspose : pasien dalam pandangan lurus

b. Proyeksi PA Axial
Posisi Pasien
Prone/tegak

Posisi Obyek
• Kepala diatur diatas kaset
• Dahi dan hidung menempel kaset
• OML diatur tegak lurus kaset

Central Ray
300 caudal

Central Point
Acanthion

FFD
90-100 cm
Ekspose : pasien dalam pandangan

c. Proyeksi Modifikasi Waters
Posisi Pasien
Prone/tegak

Posisi Obyek
• Kepala diatur diatas kaset
• Dagu dan hidung menempel kaset
• MSP kepala sejajar kaset

Central Ray
Tegak lurus kaset

Central Point
Pertengahan orbita

FFD
90-100 cm
Ekspose : pasien menutup mata


d. Proyeksi Vogt (Bone Free)
Tujuannya
Untuk mengetahui benda asing yang kecil, densitasnya rendah pada segmen anterior bola mata atau kelopak mata

1) Proyeksi Vogt : Lateromedial
Posisi Pasien
Duduk/berdiri

Posisi Obyek
• Film diatur vertikal diantara innercantus dan hidung
• Pasien memegang film dan menekan ke kulitnya

Central Ray
Tegak lurus kaset

Central Point
Outer cantus

FFD
90-100 cm
Ekspose : Pasien memandang ke atas atau ke bawah sejauh mungkin
Catatan : Dibuat 2 kali foto, memandang ke atas dan ke bawah

2) Proyeksi Vogt : Superoinferior
Posisi Pasien
Duduk/berdiri

Posisi Obyek
• Film diatur vertikal di bawah kelopak mata
• Pasien memegang film dan menekan ke kulitnya

Central Ray
Tegak lurus kaset

Central Point
Pertengahan cantus eksterna dan interna

FFD
90-100 cm
Ekspose : Pasien memandang ke kanan atau ke kiri sejauh mungkin
Catatan : Dibuat 2 kali foto, memandang ke kanan dan ke kiri

Metode Khusus
• Metode gerakan parallax
• Metode “sweet”
• Metode “Peiffer – Comberg “ Bola Mata

6. TEKNIK PENENTUAN KEDALAMAN BENDA ASING
6.1 Metode Paralaks
Tujuan
• Menentukan kedalaman benda asing pada organ yang mempunyai ketebalan pada kemungkinan mengalami pergerakan
• Contoh : abdomen dan rongga thorax

Persiapan Alat
• Pesawat X-ray yang dilengkapi dengan fluoroskopi
• Lokalisir yang terdiri dari 10 strip dengan masing-masing strip berjarak 1 cm dengan logam Pb pada tiap titik-titik
• Ring
• Selotip
• Marker
• Penggaris
• Spidol/tinta penanda
• Jangka sorong
• Kaset dan film
• Bucky
• Pinset

Prinsip Kerja
• Memanfaatkan penggambaran obyek dengan sudut pandang berbeda
• Memanfaatkan sinar oblique
• Satu film 2 kali ekspose
Gambar prinsip kerja

Teknik Pemeriksaan
• Pasien diposisikan senyaman mungkin dan harus sama dengan posisi pembedahan, dan diupayakan terdekat dengan lokasi benda asing
• Daerah masuknya benda asing diflouroskopi
• Terawang benda asing hingga jelas dan letakkan ring tepat superposisi dengan benda asing
• Bila benda asing tegak lurus dengan ring, plaster ring hingga permanen dan tidak berubah
• Pertengahan marker sebagai MSS (Marker Skin Survace) yang merupakan daerah yang tegak lurus dengan posisi benda asing
• Lanjutkan dengan pembuatan radiografi biasa dengan posisi sebagai berikut :
1. Lokalisir diletakkan sejajar dengan MSS
2. Atur TSD (Tube Shift Distance) sejauh 1/10 FFD
3. Pergerakan tabung diatur tegak lurus dengan arah lokalisir
4. Radiograf dibuat dengan CP1 (T1) sampai dengan CP2 (T2) berjarak sama dari MSS, dengan total CP1 sampai CP2 = 1/10 FFD sehingga :
 CP1 sampai MSS = MSS sampai CP2 = ½ X 1/10 FFD
 T1 = posisi Tube 1 , T2 = Posisi Tube 2

• Pemotretan dilakukan dua kali eksposi dalam satu film
• Arah tabung pada pemotretan pertama dan kedua vertikal tegak lurus
• Luas lapangan diatur sehingga obyek dan lokalisir masuk dalam film
• Pengaturan faktor eksposi :
• kV eksposi pertama dan kedua sama
• mAs eksposi pertama dan kedua adalah ½ mAs total yang diperlukan

Evaluasi Radiograf
• Radiograf yang dihasilkan akan tampak gambaran benda asing tergambar 2 buah
• Radiograf titik-titik pada lokalisir akan tampak 2 lubang dari titik-titik yang berjarak 1-10 cm



Cara Menentukan Kedalaman Benda Asing
Gunakan jangka sorong, kemudian cari jarak yang sama antara pergeseran bayangan benda asing dengan pergeseran gambaran pada titik-titik pada lokalisir.

6.2 Metode Triangulasi
Tujuan
Menentukan kedalaman benda asing pada organ / daerah yang tebal, tetapi tidak berongga contohnya pelvis.

Persiapan Alat
• Pesawat sinar-x
• Kaset dan film
• Mistar / meteran pengukur

Prinsip Kerja
• Menggunakan prinsip sinar oblique
• Kedalaman benda asing dihitung berdasarkan prinsip “segitiga kongruen”
• Ekspose 2 (dua) kali dalam satu film dengan posisi tabung yang berbeda
• Tidak memerlukan alat bantu fluoroskopi maupun lokalisir
Teknik Pemotretran
• Pemotretan pertama dilakukan dengan central point pada titik tertentu (biasanya sebagai patokan MSS adalah titik masuknya benda asing)
• Pemotretan kedua dibuat dengan central point diatur pada jarak T1 sampai T2 = 1/10 FFD
• Lakukan ekspose T1 dan T2 pada satu film
• Faktor eksposi diatur :
T1 dan T2 : kV sesuai standar obyek, mAs ½ total yang diperlukan

Prinsip Geometri

Rumus Permasalahan







• TSD : Tube Shift Distance (jarak pergeseran tabung dan pemotretan pertam dan kedua)
• ISD : Image Shift Distance (jarak pergeseran bayangan)
• SID : Source Image Distance (Jarak antara tabung dengan film)
• d : kedalaman benda asing dari film
• x : kedalaman benda asing dari permukaan tubuh
• t : ketebalan tubuh

02 Februari 2010

Teknik Radiografi Retrograde Uretrography

1. Pengertian
Teknik atau prosedur pemeriksaan menggunakan sinar-x dari uretra dengan memasukkan media kontras untuk menegakkan diagnosa. Biasanya dilakukan pada pasien laki-laki untuk menunjukkan uretra secara utuh. media kontras dimasukkan secara retrograde melalui distal uretra, hingga media kontras mengisi semua saluran uretra.

2. Indikasi Pemeriksaan
Trauma
Obstruksi
Batu uretra
Strictur uretra


3. Persiapan Pasien
Tidak ada persiapan khusus, hanya pasien harus mengosongkan bulinya terlebih dahulu sebelum pemasangan kateter dilakukan. Pasien hanya melepaskan benda-benda logam yang dapat mengganggu gambaran.

4. Persiapan Alat dan Bahan
1. Media kontras iodium 20 cc
2. Aqua steril 20 cc
3. Poly cateter 16 G / brodney clamp
4. Spuit 50 cc (spuit kaca 200cc)
5. Needle 19 G
6. Pesawat sinar-x, kaset dan film 24 x 30

5. Prosedur Pemeriksaan
Pemasukan media kontras dapat dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut “broadney clamp” yang diletakkan di distal penis. Jika tidak, gunakan kateter yang diletakkan di ujung penis. Eksposi dilakukan bersamaan dengan pemasukan media kontras.

6. Proyeksi Pemeriksaan
a. AP
Lakukan plain foto posisi AP dengan ujung penis diplaster ke sisi kanan/kiri.

Posisi Pasien
Supine

Posisi Obyek
• Kedua tangan lurus di samping tubuh
• Kedua kaki lurus.
• MSP sejajar pertengahan bucky (meja pemeriksaan).

Central Ray
Tegak lurus IR

Central Point
Symphisis pubis

FFD
40 inci (100 cm)

Catatan
Uretra tidak terpotong



b. Right Posterior Oblique (RPO)
Posisi Pasien
Semisupine

Posisi Obyek
• Obliquekan tubuh 30° ke kanan.
• Superimposisikan uretra dengan tungkai kanan.

Central Ray
Tegak lurus IR

Central Point
Pada symphisis pubis

FFD
40 inci (100 cm)

Kriteria Gambar
Tampak gambaran uretra, dan sebagian vesica urinaria (blass) terisi bahan kontras. Sedikit superimposisi gambaran uretra dengan proximal femur dan jaringan femur kanan serta sedikit distal pelvis.

Teknik Radiografi Voiding Cystouretrography (VCU)

1. Pengertian
Teknik atau prosedur pemeriksaan menggunakan sinar-x pada vesica urinaria (blass) dan uretra dengan memasukkan media kontras untuk menegakkan diagnosa. Biasanya dilakukan setelah cystography, sehingga disebut juga dengan nama “cystouretrogram” atau voiding cystouretrogram (VCU).

2. Indikasi
• Trauma
• Kencing tidak lancar
• Batu pada uretra

3. Persiapan Pasien
Tidak ada persiapan khusus, hanya pasien harus mengosongkan bulinya terlebih dahulu sebelum pemasangan kateter dilakukan. Pasien melepaskan benda-benda logam yang dapat menggangu gambaran.

4. Persiapan Alat dan Bahan
• Media kontras iodium 50 cc
• Aqua steril 100 cc
• Poly cateter 8 atau 10 G
• Spuit 50 cc (spuit kaca 200 cc)
• Needle 19 G
• Pesawat sinar-x
• Kaset dan film 24 x 30
• Kateter dipasang pada gland penis (untuk laki-laki)

5. Prosedur Pemeriksaan
Teknik atau prosedur pemeriksaan sama dengan cystography. Proyeksi AP dan oblique pada saat pasien mixi (voiding) dengan posisi erect jika memungkinkan. Untuk pasien laki-laki, proyeksi yang paling baik adalah RPO 30°. Setelah gambaran voiding cukup, maka proyeksi pemeriksaan AP post void (mixi) mungkin diminta radiolog. Catatan : pemotretan (eksposi) dilakukan saat pasien voiding, kateter dilepaskan sebelum eksposi dilakukan.

6. Proyeksi Voiding Cystouretrography

a. AP
Biasanya dilakukan proyeksi AP saja untuk pasien wanita

Posisi Pasien
Supine /erect

Posisi Obyek
• Kedua tangan lurus di samping tubuh
• Kedua kaki lurus.
• MSP sejajar pertengahan bucky (meja pemeriksaan).

Central Ray
Tegak lurus IR

Central Point
2 inchi (5 cm) superior symphisis pubis.

FFD
40 inci (100 cm)
Eksposi : pada saat voiding.



b. Right Posterior Oblique (RPO)
Posisi Pasien
Semisupine

Posisi Obyek
• Obliquekan tubuh 30° ke kanan.
• Superimposisikan uretra dengan tungkai kanan.

Central Ray
Tegak lurus IR

Central Point
2 inchi superior symphisis pubis dan 2 inchi medial SIAS

FFD
40 inci (100 cm)
Eksposi : pada saat pasien voiding.

Kriteria Gambar
Umum
• Tampak gambaran uretra, vesica urinaria (blass) terisi bahan kontras pada proyeksi AP dan oblique
• Tampak bladder neck terbuka (pada proyeksi pasien mixi).
Khusus
• Wanita : uretra yang berisikan media kontras tampak di posterior symphisis pubis
• Laki-laki : uretra berisikan media kontras dan superimposisi dengan soft tissue tungkai kanan.

Teknik Radiografi Retrograde Cystography (Cystogram)

1. Pengertian
Teknik atau prosedur pemeriksaan urinary bladder (blass) setelah memasukkan media kontras melalui kateter dengan menggunakan sinar-x untuk menegakkan diagnosa.

2. Klinis
• Trauma
• Calculi
• Tumor
• Inflamantory urinary bladder

3. Persiapan Pasien
Tidak ada persiapan khusus, hanya pasien harus mengosongkan bulinya terlebih dahulu sebelum pemasangan kateter dilakukan. Pasien melepaskan benda-benda logam yang dapat menggangu gambaran.

4. Persiapan Alat dan Bahan
• Media kontras iodium 50 cc
• Aqua steril 100 cc
• Poly cateter 16 G
• Spuit 50 cc (spuit kaca 200 cc)
• Needle 19 G
• Pesawat sinar-x
• Kaset dan film 24 x 30

5. Teknik pemeriksaan
Bahan kontras dicampur dengan aqua steril dengan perbandingan 1 : 3 atau 1 : 4. Plain foto khusus daerah blass (setelah pasien kencing). Pasang kateter menuju blass melalui uretra. Masukkan kontras yang telah dicampur aqua 150 – 500 cc.

6. Proyeksi Pemeriksaan Cystogram

a. AP Axial
Posisi Pasien
Supine

Posisi Obyek
• Kedua kaki lurus.
• MSP sejajar pertengahan bucky (meja pemeriksaan).

Central Ray
10 - 15° caudal (agar blass tdk superposisi symphisis pubis)

Central Point
2 inchi (5 cm) superior symphisis pubis.

FFD
40 inci (100 cm)
Eksposi : ekspirasi tahan nafas.

Kriteria Gambar
Urinary blader tidak superimposisi dengan symphisis pubis.



b. Oblique Bilateral (kanan dan kiri)
Posisi Pasien
Semisupine

Posisi Obyek
• Rotasikan tubuh 45°- 60°
• Tekuk lutut yang jauh dari meja pemeriksaan,luruskan kaki yang dekat dengan meja pemeriksaan, tangan yang dekat dengan meja pemeriksaan gunakan sebagai ganjalan kepala, yang jauh dari meja pemeriksaan diletakkan di depan tubuh.

Central Ray
Tegak lurus IR

Central Point
2 inchi superior symphisis pubis dan 2 inchi medial SIAS

FFD
40 inci (100 cm)
Eksposi : ekspirasi tahan nafas

Kriteria Gambar
Urinari blader tidak superimposisi dengan bagian kaki yang ditekuk.

Catatan
Digunakan untuk menunjukkan bagian posterolateral blass, khususnya UV junction.



c. Proyeksi Lateral
Proyeksi ini tidak umum dilakukan dan biasanya dilakukan dengan klinis fistel vesicorectal atau vesicouteral.

Posisi Pasien
True lateral (lateral recumbent)

Posisi Obyek
• Kedua tangan digunakan sebagai bantalan kepala.
• Kedua lutut ditekuk, dan letakkan bantal diantara lutut.

Central Ray
Tegak lurus IR

Central Point
2 inchi superior dan posterior symphisis pubis.

FFD
40 inci (100 cm)
Eksposi : ekspirasi tahan nafas.

Kriteria Gambar
Hip dan femur superimposisi.

Teknik Radiografi Retrograde Pyelography (RPG)

1. Pendahuluan
Pemeriksaan ini dilakukan apabila sistem urinaria sudah tidak berfungsi. Media kontras dimasukkan berbalik atau melawan jalannya alur sistem urinaria melalui sistem pelviocaliceal dengan memasang kateter . Pemasangan kateter adalah dengan melakukan bedah minor oleh dokter urology di ruang bedah. Umumnya dilakukan untuk menunjukkan letak urinary calculi atau jenis kerusakan lain.

2. Pengertian
Teknik atau prosedur atau tata cara pemeriksaan sistem urinaria dengan menggunakan sinar-x dan memasukkan media kontras secara retrograde (berlawanan dengan alur sistem urinaria) untuk menegakkan diagnosa.

3. Indikasi
• Stricture uretra
• Batu uretra
• Uretris injuri
• Renal pelvic neoplasm
• Renal calculi
• Ureteric fistule
• Accidential ureteric ligation

4. Kontra Indikasi
• Urethritis
• Kontra indikasi absolute yang menyebarkan infeksi pada traktus urinaria distal dan proximal.
• Peradangan yang terjadi akan sulit untuk diobati.
• Stricture uretra
• Bukan kontra indikasi absolute.
• Pemasukan kateter dapat memperparah keadaan.

5. Komplikasi
• Injuri Uretra
Penggunaan cystoscopy dengan ukuran besar dan tidak digunakannya lubricant (jelly) akan menyebabkan injuri terjadi.
• Bladder Injuri
Jarang terjadi. Apabila tekanan keras dengan paksaan dilakukan, maka perforasi bladder mungkin terjadi.
• Paraphimosis
Mungkin terjadi pada pasien yang tidaak dicircumsisi
• Stricture Uretra
Tidak digunakannya lubricant yang cukup dapat menyebabkan luka dan stricture kemudian.
• Meatal Stricture
Seperti stricture uretra
• Cystitis
Jika tidak dilakukan aseptic akan terjadi peradangan.

6. Persiapan Pasien
• Tanyakan riwayat alergi terhadap iodium maupun barium.
• Tanyakan apakah pasien mengkonsumsi obat-obatan saat ini.
• Apabila pasien wanita dalam usia produktif, tanyakan apakah pasien sedang hamil atau tidak.
• Hasil ureum dan creatinin normal
• Satu hari sebelum pemeriksaan, pasien makan makanan yang lunak/rendah serat, misalnya bubur kecap.
• 12 jam sebelum pemeriksaan pasien minum obat pencahar
• Selanjutnya pasien puasa sehingga pemeriksaan selesai dilakukan
• Selama puasa pasien dinjurkan untuk tidak merokok, dan banyak bicara untuk meminimalisasi udara dalam usus.
• Melepaskan benda-benda logam yang dapat mengganggu gambaran pemeriksaan.
• Sebelum pemeriksaan dimulai pasien buang air kecil untuk mengosongkan blass
• Penandatanganan Informed Consent. Venipuncture adalah prosedure invasive yang dapat menyebabkan komplikasi pada saat injeksi media kontras. Petugas harus hati-hati dan selalu memastikan pasien telah diberikan penjelasan dan menandatangani informed consent. Untuk pasien anak-anak harus diberikan penjelasan pada anak dan orang tua anak tersebut.

7. Persiapan Alat dan Bahan
• Pesawat sinar-x
• Media kontras iodium 20 cc
• Spuit 20 cc
• Needle 19 G
• Film dan kaset 24 x 30 dan 30 x 40
• Grid atau bucky
• Marker R/L
• Kateter (dipasang dengan bantuan cystoscopy)
• Desinfektan

8. Prosedur Pemeriksaan
Pemasangan kateter dilakukan oleh dokter urology dengan menggunakan bantuan cystoscopy, secara retrograde (berlawan dengan alur sistem urinary) melalui uretra sebelum pemeriksaan mulai dilakukan.
• Lakukan plain foto (abdomen polos)
• Untuk memastikan letak kateter (untuk dokter urologis)
• Mengetahui ketepatan teknik dan posistioning.
• Lakukan injeksi 3-5 cc media kontras melalui kateter menuju renal pelvis pada ginjal yang diperiksa.
• Diambil dengan menggunakan film 24 x 30
• Kontras dimasukkan kembali ± 5 cc sambil kateter ditarik perlahan, lalu foto menggunakan film 30 x 40 untuk melihat daerah ureter.
• Kontras dimasukkan sampai habis, sambil ditarik diperkirakan kontras habis dan keteter dilepas. Foto diambil dengan menggunakan fim 30 x 40.

7. Proyeksi Retrograde Pyelography

a. AP
Posisi Pasien
Supine

Posisi Obyek
• MSP sejajar dengan pertengahan bucky.
• Kedua tangan di samping tubuh.

Central Ray
Tegak lurus IR

Central Point
MSP setinggi crista iliaca

FFD
40 inci (100 cm)

Catatan
Gambar harus berada pada orientasi ginjal tidak terpotong dan gambaran mulai dari nefron sampai blass tetapi tidak ada waktu seperti IVP.

b. AP Oblique

Posisi Pasien
Semisupine

Posisi Obyek
• Atur tubuh pasien sehingga membentuk sudut 450 terhadap meja pemeriksaan.
• Tekuk lutut yang jauh dari meja pemeriksaan, luruskan kaki yang dekat dengan meja pemeriksaan, tangan yang dekat dengan meja pemeriksaan gunakan sebagai ganjalan kepala, yang jauh dari meja pemeriksaan diletakkan di depan tubuh.

Central Ray
Tegak lurus IR

Central Point
2 inci (5 cm) medial dari SIAS dan 1½ inci (3,8 cm) di atas crista illiaca

FFD
40 inci (100 cm)

Teknik Radiografi Antegrade Pyelography (APG)

1. Pengertian
Teknik atau prosedur pemeriksaan sinar-X sistem urinaria dengan menggunakan media kontras yang dimasukkan melalui kateter yang telah dipasang dokter urologi dengan cara nefrostomi percutan.

2. Tujuan
• Memperlihatkan anatomi dan lesi-lesi tractus urinarius bagian proximal.
• Dilakukan setelah IVP gagal menghasilkan suatu diagnosa yang informatif/kurang akurat/metode RPG tidak memungkinkan.
• Untuk menunjukkan terutama gambaran renal pelvic dan ureter.
• Menujukkan obstruksi ureter akibat batu.

3. Indikasi
• Nephrolitiasis
• Urethrolitiasis
• Nephritis
• Pyelonephritis
• Trauma akut tractus urinarius
• Hydroneprosis

4. Persiapan Pemeriksaan
• Tanyakan riwayat alergi terhadap iodium maupun barium.
• Tanyakan apakah pasien mengkonsumsi obat-obatan saat ini.
• Apabila pasien wanita dalam usia produktif, tanyakan apakah pasien sedang hamil atau tidak.
• Hasil ureum dan creatinin normal
• Satu hari sebelum pemeriksaan, pasien makan makanan yang lunak/rendah serat, misalnya bubur kecap.
• 12 jam sebelum pemeriksaan pasien minum obat pencahar
• Selanjutnya pasien puasa sehingga pemeriksaan selesai dilakukan
• Selama puasa pasien dinjurkan untuk tidak merokok, dan banyak bicara untuk meminimalisasi udara dalam usus.
• Melepaskan benda-benda logam yang dapat mengganggu gambaran pemeriksaan.
• Sebelum pemeriksaan dimulai pasien buang air kecil untuk mengosongkan blass
• Penandatanganan Informed Consent. Venipuncture adalah prosedure invasive yang dapat menyebabkan komplikasi pada saat injeksi media kontras. Petugas harus hati-hati dan selalu memastikan pasien telah diberikan penjelasan dan menandatangani informed consent. Untuk pasien anak-anak harus diberikan penjelasan pada anak dan orang tua anak tersebut.

5. Persiapan Alat dan Bahan
• Media kontras iodium 50 cc, cairan NaCl 100 cc
• Spuit dissposible 50 cc
• Needle 19 G
• Handscoen
• Clamp
• Plester
• Alkohol dan betadine
• Haas
• Pesawat sinar-x, kaset dan film 24 x 30 dan 30 x 40

6. Prosedur Pemeriksaan
• Kateter yang telah terpasang diklem kemudian selang yang terhubung dengan urine dicabut
• Kontras medis disiapkan dengan mencampur media kontras dan NaCl dengan perbandingan 1 : 3
• Sebelum pemasukan media kontras dilakukan, lakukan plain foto dengan kaset 30 x 40 orientasi ginjal
• Masukkan media kontras yang sudah diencerkan melalui kateter yang langsung terhubung dengan pelviocalyces .
• Terdapat 3 seri pemotretan dengan menggunakan film 30 x 40
1. Foto 1 fokus pada renogram dan pelviocalyceal system
2. Foto 2 fokus pada ureter bagian proximal dan pelviocalyceal system
3. Foto 3 fokus pada ureter distal dan vesika urinaria.
4. Foto terakhir dibuat untuk melihat sekresi ginjal
7. Proyeksi Antegrade Pyelography

a. AP
Posisi Pasien
Supine

Posisi Obyek
• MSP sejajar dengan pertengahan bucky.
• Kedua tangan di samping tubuh.

Central Ray
Tegak lurus IR

Central Point
MSP setinggi crista iliaca

FFD
40 inci (100 cm)

Catatan
Gambar harus berada pada orientasi ginjal tidak terpotong dan gambaran mulai dari nefron sampai blass tetapi tidak ada waktu seperti IVP.

b. AP Oblique

Posisi Pasien
Semisupine

Posisi Obyek
• Atur tubuh pasien sehingga membentuk sudut 450 terhadap meja pemeriksaan.
• Tekuk lutut yang jauh dari meja pemeriksaan, luruskan kaki yang dekat dengan meja pemeriksaan, tangan yang dekat dengan meja pemeriksaan gunakan sebagai ganjalan kepala, yang jauh dari meja pemeriksaan diletakkan di depan tubuh.

Central Ray
Tegak lurus IR

Central Point
2 inci (5 cm) medial dari SIAS dan 1½ inci (3,8 cm) di atas crista illiaca

FFD
40 inci (100 cm

01 Februari 2010

Radioanatomi Sistem Pernapasan

1.1 Pengertian Sistem Pernapasan
Pernapasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung O2 (oksigen) ke dalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandug CO2 (karbondioksida) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan udara disebut inspirasi dan menghembuskan napas disebut ekspirasi.
1.2 Organ Sistem Pernapasan
1.2.1 Hidung
Hidung merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Di dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara, debu, dan kotoran-kotoran yang masuk ke dalam lubang hidung.
1. Bagian luar dinding terdiri dari kulit.
2. Lapisan tengah dari otot-otot dan tulang rawan.
3. Lapisan dalam terdiri dari selaput lender yang berlipat-lipat yang dinamakan karang hidung.
Adapun konka nasalis yang berjumlah tiga buah yaitu :
a) Konka nasalis inferior (karang hidung bagian bawah)
b) Konka nasalis media (karang hidung bagian tengah)
c) Konka nasalis superior (karang hidung bagian atas)
Diantara konka-konka ini terdapat tiga buah lekukan yaitu meatus superior (lekukan bagian atas), meatus medialis (lekukan bagian tengah), dan meatus inferior (lekukan bagian bawah). Meatus- meatus inilah yang dilewati udara pernapasan, sebelah dalam terdapat lubang yang berhubungan dengan tekak, lubang ini disebut koana.
Dasar dari rongga hidung dibentuk oleh tulang rahang atas, ke atas rongga hidung yang berhubungan dengan beberapa rongga yang disebut sinus paranasalis, yaitu sinus maksilaris pada rongga rahang atas, sinus frontalis pada rongga tulang dahi, sinus sfenoidalis pada rongga tulang bayi, dan sinus etmoidalis pada rongga tulang tapis.
Pada sinus etmoidalis, keluar ujung-ujung saraf penciuman yang menuju ke konka nasalis. Pada konka nasalis terdapat sel-sel penciuman, sel tersebut terutama terdapat pada bagian atas.
Pada hidung bagian mukosa terdapat serabut-serabut saraf atau reseptor-seseptor dari saraf penciuman disebut nervus olfaktorius.
Di sebelah belakang konka bagian kiri kanan dan sebelah atas dari langit-langit terdapat satu lubang pembuluh yang menghubungkan rongga tekak dengan rongga pendengaran tengah, saluran ini disebut tuba auditiva eustaki, yang menghubungkan telinga tengah dengan faring dan laring. Hidung juga berhubungan dengan saluran air mata disebut tuba lakrimalis.



1.2.2 Faring
Merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan makanan. Terdapat di baawah dasar tengkorak, di belakang rongga hidung dan mulut sebelah depan ruas tulang leher.
Hubungan faring dengan organ-organ lain yaitu ke atas berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang yang bernama koana. Ke depan berhubungan dengan rongga mulut, tempat hubungan ini bernama istmus fausium. Ke bawah terdapat dua lubang, ke depan lubang laring dan ke belakang lubang oesofagus.
Di bawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga di beberapa tempat terdapat folikel getah bening. Perkumpulan getah bening ini dinamakan adenoid. Di sebelahnya terdapat dua buah tonsil kiri dan kanan dari faring. Di sebelah belakang terdapat epiglotis (empang tenggorok) yang berfungsi menutup laring pada waktu menelan makanan.
Rongga faring dibagi ke dalam tiga bagian :
1. Bagian sebelah atas sama tingginya dengan koana yang disebut nasofaring.
2. Bagian sebelah tengah sama tingginya dengan istmus fausium isebut orofaring.
3. Bagian bawah sekali dinamakan laringo faring.



1.2.3 Laring
Merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukkan suara yang terletak di depan faring sampai ketinggian vertebrae servikalis dan masuk ke dalam trakea di bawahnya. Pangkal tenggorakan itu dapat ditutup oleh sebuah empang tenggorok yang disebut epiglottis, yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berfungsi pada waktu kita menelan makanan menutup laring.
Laring terdiri dari lima tulang rawan yaitu :
1. Kartilago thyroid berjumlah satu buah. Letak di depan jakun (Adam’s aple) sangat jelas terlihat pada laki-laki.
2. Kartilago ariteanoid berjumlah dua buah yang berbentuk beker.
3. Kartilago krikoid berjumlah satu buah yang berbentuk cincin.
4. Kartilago epiglotis berjumlah satu buah.
Laring dilapisi oleh selaput lendir, kecuali pita suara dan bagian epiglotis yang dilapisi oleh sel epithelium berlapis. Pita suara ini berjumlah dua buah. Di bagian atas adalah pita suara palsu dan tidak mengeluarkan suara yang disebut ventrikularis. Di bagian bawah adalah pita suara sejati yang membentuk suara yang disebut vokalis, terdapat dua buah otot. Oleh gerakan dua buah otot ini maka pita suara dapat bergetar dengan demikian pita suara (rima glotidis) dapat melebar dan mengecil, sehingga di sinilah terbentuk suara.



1.2.4 Trakea
Merupakan dari laring yang dibentuk oleh 16-20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berbentuk seperti kuku kuda (huruf C). Sebelah dalam diliputi selaput lendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia, hanya bergerak ke arah luar.
Panjang trakea 9-11 cm dan di belakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos. Sel-sel bersilia gunanya untuk mengeluarkan benda-benda asing yang masuk bersama-sama dengan udara pernapasan. Yang memisahkan trakea menjadi bronkus kanan dan kiri disebut karina.



1.2.5 Bronkus
Merupakan lanjutan dari trakea yang berjumlah dua buah. Terdapat pada ketinggian vertebra thorakalis IV dan ke V. mempunyai struktur serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama. Bronkus-bronkus itu berjalan ke bawah dan ke samping kearah tampuk paru-paru.
Bronkus kanan lebih pendek dan lebih besar daripada bronkus kiri. Terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai tiga cabang. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih ramping dari yang kanan, terdiri dari 9-12 cincin mempunyai dua cabang. Bronkus bercabang-cabang, cabang yang lebih kecil disebut bronkiolus (bronkiolus). Pada bronkioli tak terdapat cincin lagi, dan pada ujung bronkioli terdapat gelembung paru/gelembung hawa atau alveoli.



1.2.6 Paru-Paru
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung-gelembung (gelembung hawa=alveoli). Gelembung-gelembung alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya lebih kurang 90 m2. Pada lapisan ini terjadii pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan CO2 dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih 700.000.000 buah (Paru-paru kanan dan kiri).
1.2.6.1 Pembagian Paru-Paru
Paru-paru dibagi menjadi dua yaitu :
1. Paru-paru kanan
Terdiri dari tiga lobus (belah paru), Lobus Pulmo Dekstra Superior, Lobus Media, dan Lobus Inferior. Tiap lobus tersusun oleh lobulus.
2. Paru-paru kiri
Terdiri dari pulmo sinester lobus superior dan lobus inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan-belahan yang lebih kecil bernama segment. Paru-paru kiri mempunyai sepuluh segment yaitu lima segment pada lobus superior dan lima segment pada lobus inferior.
Tiap-tiap segment ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus. Diantara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi jaringan ikat yang berisi pembuluh-pembuluh darah getah bening dan saraf-saraf, dalam tiap-tiap lobulus terdapat bronkiolus
Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang banyak sekali, cabang-cabang ini disebut duktus alveolus. Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2-0,3 mm.
1.2.6.2 Letak Paru-Paru
Pada rongga dada di antaranya menghadap ke tengah rongga dada/kavum mediastinum. Pada bagian tengah itu terdapat tampuk paru atau hilus. Pada mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura. Pleura menjadi dua yaitu :
1) Pleura visceral (selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung membungkus paru.
2) Pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah dalam.
Antara kedua pleura ini terdapat rongga (kavum) yang disebut kavum pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura ini vakum/hampa udara sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berguna untuk meminyaki permukaanya (pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding dada dimana sewaktu napas bergerak.

1.2.6.3 Pembuluh Darah pada Paru
Sirkulasi pulmonar berasal dari ventrikel kanan yang tebal dindingnya dari tebal ventrikel kiri. Perbedaan ini menyebabkan kekuatan kontraksi dan tekanan yang ditimbulkan jauh lebih kecil dibandingkan dengan tekanan yang ditimbulkan oleh kontraksi ventrikel kiri.
Selain aliran melalui arteri pulmonal ada darah yang langsung mengalir ke paru-paru dari aorta melalui arteri bronkialis. Darah ini adalah darah “kaya oksigen” (oxygenated) dibandingkan dengan darah pulmonal yang relatif kekurangan oksigen. Darah ini kembali melalui vena pulmonalis ke atrium kiri. Arteri pulmonalis membawa darah yang yang sudah tidak mengandung udara dari ventrikel kanan ke paru-paru. Cabang-cabangnya menyentuh saluran-saluran bronchial, sampai ke alveoli halus.
Alveoli itu membelah dan membentuk jaringan kapiler dan jaringan kapiler itu menyentuh dinding alveoli (gelembung udara). Jadi darah dan udara hanya dipisahkan oleh dinding kapiler. Dari epitel alveoli, akhirnya kapiler menjadi satu sampai menjadi vena pulmonalis dan sejajar dengan cabang tenggorokan yang keluar melalui tampuk paru-paru ke serambi jantung kiri (darah mengandung O2), sisa dari vena pulmonalis ditentukan dari setiap paru-paru oleh vena bronkialis dan ada yang mencapai vena kava inferior, maka dengan demikian paru-paru mempunyai persediaan darah ganda.

Teknik Radiografi IVP (Intra Venous Pyelography )

1. Pengertian
Ilmu yang mempelajari prosedur / tata cara pemeriksaan ginjal, ureter, dan blass (vesica urinaria) menggunakan sinar-x dengan melakukan injeksi media kontrasmelalui vena. Pada saat media kontrasdiinjeksikan melalui pembuluh vena pada tangan pasien, media kontrasakan mengikuti peredaran darah dan dikumpulkan dalam ginjal dan tractus urinaria, sehingga ginjal dan tractus urinaria menjadi berwarna putih. Dengan IVP, radiologist dapat melihat dan mengetahui anatomi serta fungsi ginjal, ureter dan blass.

2. Tujuan Pemeriksaan IVP
• Pemeriksaan IVP membantu dokter mengetahui adanya kelainan pada sistem urinaria, dengan melihat kerja ginjal dan sistem urinaria pasien.
• Pemeriksaan ini dipergunakan untuk mengetahui gejala seperti kencing darah (hematuri) dan sakit pada daerah punggung.
• Dengan IVP dokter dapat mengetahui adanya kelainan pada sistem tractus urinaria dari batu ginjal, pembesaran prostat, tumor pada ginjal, ureter dan blass.

3. Indikasi Pemeriksaan IVP
• Renal agenesis
• Polyuria
• BPH (Benign Prostatic Hyperplasia)
• Congenital anomali seperti duplication of ureter dan renal pelvis, ectopia kidney, horseshoe kidney, malroration
• Hydroneprosis
• Pyelonepritis
• Renal hypertention

4. Kontra Indikasi
• Alergi terhadap media kontras
• Os mempunyai kelainan atau penyakit jantung
• Os dengan riwayat atau dalam serangan jantung
• Multi myeloma
• Neonatus
• Diabetes mellitus tidak terkontrol/parah
• Os sedang dalam keadaan kolik
• Hasil ureum dan creatinin tidak normal

5. Persiapan Pemeriksaan
• Tanyakan riwayat alergi terhadap iodium maupun barium.
• Tanyakan apakah pasien mengkonsumsi obat-obatan saat ini.
• Apabila pasien wanita dalam usia produktif, tanyakan apakah pasien sedang hamil atau tidak.
• Hasil ureum dan creatinin normal
• Satu hari sebelum pemeriksaan, pasien makan makanan yang lunak/rendah serat, misalnya bubur kecap.
• 12 jam sebelum pemeriksaan pasien minum obat pencahar
• Selanjutnya pasien puasa sehingga pemeriksaan selesai dilakukan
• Selama puasa pasien dinjurkan untuk tidak merokok, dan banyak bicara untuk meminimalisasi udara dalam usus.
• Melepaskan benda-benda logam yang dapat mengganggu gambaran pemeriksaan.
• Sebelum pemeriksaan dimulai pasien buang air kecil untuk mengosongkan blass
• Penandatanganan Informed Consent. Venipuncture adalah prosedure invasive yang dapat menyebabkan komplikasi pada saat injeksi media kontras. Petugas harus hati-hati dan selalu memastikan pasien telah diberikan penjelasan dan menandatangani informed consent. Untuk pasien anak-anak harus diberikan penjelasan pada anak dan orang tua anak tersebut.

6. Persiapan Alat dan Bahan
• Pesawat x-ray
• Film dan kaset x-ray
• Grid (bucky)
• Image intensifier (fluoroscopy) untuk real time imaging
• Media kontras iodium disesuaikan dengan berat badan.
• Kotak media kontras yang digunakan untuk menunjukkan kepada dokter media kontras yang digunakan.
• Wingneedle dan needle steril
• Kapas alkohol atau wipes.
• Tourniquet
• Handuk atau spon untuk bantalan lengan
• Male gonad shield
• Marker R/L dan marker waktu
• Peralatan kegawat daruratan (tabung O2, alat suction, dan lain-lain)
• Epinephrine atau benadryl untuk kegawat daruratan media kontras
• Peralatan kompress ureter
• Handuk dingin atau handuk hangat untuk kompress tempat dilakukan penyuntikan (jika diperlukan)

7. Teknik Pemasukan Media kontras
Untuk pemeriksaan IVP secara umum, dianjurkan untuk memilih vena pada “fossa antecubital”, karena ukuran cukup besar, mudah ditemukan dan memungkinkan dilakukan bolus injeksi media kontrasdengan jumlah besar tanpa adanya extravasasi. Vena-vena yang dianjurkan untuk dilakukan venipuncture adalah median cubital cephalic  anterior wrist basilic vein.
Beberapa vena untuk alternatif apabila vena fossa tidak dimungkinkan dilakukan penyuntikan media kontras (akibat seringnya pemeriksaan lab dan lain-lain) adalah vena radialis àanterior wrist vena cephalic atau basilica àposterior antebrachii. Pastikan tempat penyuntikan adalah vena bukan arteri.



7.1 Teknik Venipunture
Langkah 1
Cuci tangan dan gunakan handscoen.
Langkah 2
• Pilih vena tempat penyuntikan dan pasang tourniquet 3-4 inchi superior tempat penyuntikan dilakukan.
• Ganjal tangan tempat dilakukan venipuncture agar pasien nyaman.
• Kencangkan tourniquet untuk dilatasi vena.
Langkah 3
Pastikan kembali tempat penyuntikan dan bersihkan.

Langkah 4
• Lakukan penyuntikan wingneedle .
• Penyuntikan dilakukan dengan menyuntikkan jarum ke vena dengan sudut 20° - 25°

Langkah 5
Fiksasi wingneedle dan pastikan penyuntikan benar

Langkah 6
• Persiapan untuk injeksi.
• Lepaskan tourniquet (stuing).
• Pastikan media kontras dimasukkan dengan tekanan yang stabil dan tidak terlalu cepat.
• Petugas harus mencatat waktu mulainya pemasukan media kontras dilakukan.
• Pastikan tidak ada extravasasi saat pemasukan media kontras.

Langkah 7
• Cabut wingneedle.
• Tekan daerah tempat penyuntikan dilakukan dengan kapas betadine hingga pendarahan selesai.
• Rekatkan dengan plester.



8. Teknik Keselamatan Kerja
• Selalu gunakan handscoen saat pemeriksaan dilakukan.
• Selalu perhatikan standar keselamatan kerja dari OSHA, larangan umum dan cara pembuangan needle bekas penyuntikan atau alat-alat pengambilan cairan tubuh.
• Buang needle dan penutup pada tempatnya (terpisah).
• Gunakan jarum baru apabila penyuntikan pertama gagal dilakukan dan pilih vena lain.
• Apabila terjadi extravasasi media kontras, lakukan kompres dengan menggunakan air hangat.
• Dokumen tentang penyuntikan, berisikan komplikasi dan tempat penyuntikan dilakukan, waktu, jumlah dan jenis media kontras yang disuntikkan.

9. Prosedur Pemeriksaan IVP
• Posisi pasien supine di atas meja pemeriksaan
• Lakukan pemeriksaan BNO posisi AP, untuk melihat persiapan pasien
• Jika persiapan baik/bersih, suntikkan media kontras melalui intravena 1 cc saja, untuk melihat reaksi alergi.
• Jika tidak ada reaksi alergis penyuntikan dapat dilanjutkan dengan memasang alat kompres ureter terlebih dahulu di sekitar SIAS kanan dan kiri. Alat kompress ureter berfungsi untuk memaksimalkan pengisian daerah pelviocalyceal system dan proximal ureter, untuk memperlambat waktu media kontras sampai ke blass, dan alat ini dipasang sebelum pemasukan media kontras dilakukan.
• Media kontras diinjeksikan melalui pembuluh vena pada tangan pasien.
• Pasien tahan nafas saat pemeriksaan dilakukan.
• Pemeriksaan dilakukan secara berseri dengan waktu pengambilan gambaran traktus urinaria disesuaikan dengan sistem kerja ginjal.
• Umumnya apabila fisiologi ginjal normal pengambilan gambar dilakukan pada menit ke 5, 15, 30, 45 menit.

10. Proyeksi Pemeriksaan IVP
a. AP 5 Menit
Buat foto 5 menit pasca penyuntikan (bila pasien hypertensi atau pasien anak, pemotretan diambil 1 menit pasca penyuntikan). Foto AP 5 menit dilakukan dengan menggunakan kaset 24 x 30 cm.

Posisi Pasien
Supine

Posisi Obyek
• MSP sejajar dengan pertengahan bucky.
• Kedua tangan di samping tubuh.
• Batas atas prosesus xypoideus dan batas bawah SIAS.

Central Ray
Tegak lurus IR

Central Point
1/3 distal antara prosesus xypoideus dan SIAS
FFD
40 inci (100 cm)

Kriteria gambar
Tampak kontras mengisi ginjal kanan dan kiri.

Catatan
• Beri marker 5 menit
• Buka stuing (ureter kompressive)




b. AP 15 Menit
Posisi Pasien
Supine

Posisi Obyek
• MSP sejajar dengan pertengahan bucky.
• Kedua tangan di samping tubuh.

Central Ray
Tegak lurus IR

Central Point
Setinggi crista illiaca (pada lumbal 4-5)

FFD
40 inci (100 cm)

Catatan
Pasang marker 15 menit
Gunakan film 30 x 40 cm

Kriteria gambar
Tampak kontras mengisi ginjal, ureter, sampai blass/buli-buli.



c. AP 30 Menit
Posisi Pasien
Supine

Posisi Obyek
• MSP sejajar dengan pertengahan bucky.
• Kedua tangan di samping tubuh.

Central Ray
Tegak lurus IR

Central Point
Setinggi crista illiaca (pada lumbal 4-5)

FFD
40 inci (100 cm)

Kriteria gambar
Tampak blass terisi penuh oleh kontras

Catatan
Pasang marker 30 menit



d. Post Mixi
Bertujuan untuk melihat adanya ren mobile.

Posisi Pasien
Erect AP

Posisi Obyek
• MSP sejajar pertengahan bucky
• Kedua tangan di samping tubuh

Central Ray
Tegak lurus IR

Central Point
Umbilikus (2 cm superior crista illiaca)

FFD
40 inci (100 cm)

Kriteria gambar
Tampak Blass kosong.

Catatan
• Marker PM dan R/L
• Apabila tidak normal foto dapat dilanjutkan hingga menit ke 120 tanpa post mixi (void) terlebih dahulu.

11. Teknik Hipertensi IVP
Dilakukan pada pasien yang memiliki tekanan darah tinggi. Tujuannya untuk memastikan apakah ginjal adalah penyebab hypertensi. Waktu yang dipergunakan untuk prosedur ini lebih pendek dibandingkan IVP secara umum. Pemeriksaan dilakukan pada menit ke 1, 2, dan 3. Jika memungkinkan lakukan pemotretan tiap 30 detik. Catatan : teknik pemeriksaan ini sudah jarang dilakukan saat ini, tapi tetap dapat dilakukan apabila pemeriksaan lain tidak dapat dilakukan.

12. Kelebihan dan Kekurangan IVP
Kelebihan
• Bersifat invasif.
• IVP memberikan gambaran dan informasi yang jelas, sehingga dokter dapat mendiagnosa dan memberikan pengobatan yang tepat mulai dari adanya batu ginjal hingga kanker.
• Tanpa harus melakukan pembedahan, kelainan tentang kerusakan dan adanya batu pada ginjal dapat dilakukan.
• Radiasi relative rendah
• Relatif aman.
Kekurangan
• Selalu ada kemungkinan terjadinya kanker akibat paparan radiasi yang diperoleh.
• Dosis efektif pemeriksaan IVP adalah 3 mSv, sama dengan rata-rata radiasi yang diterima dari alam dalam satu tahun.
• Penggunaan media kontras dalam IVP dapat menyebabkan efek alergi pada pasien, yang menyebabkan pasien harus mendapatkan pengobatan lanjut.
• Tidak dapat dilakukan pada wanita hamil.


13. Teknik Pemeriksaan alternatif :
Terdapat beberapa pemeriksaan alternatif yang umum digunakan :
1. Postrelease Ureteric Compression
• Radiograf dengan menggunakan film 30 x 40 diambil, segera setelah ureteric compression dilepaskan.
• Untuk mengetahui adanya fungsi renal yang tidak sama, maka compression dapat dilakukan segera setelah eksposi menit ke-5 (kecuali ada kontra indikasi), lakukan eksposi pada menit ke-15 dengan kompressi yang telah dilepas.
2. Posisi Erect Untuk Bladder
Untuk kasus prolapse bladder, atau pembesaran kelenjar prostat, pemeriksaan dengan posisi berdiri dapat dilakukan sebelum post void.
3. Delayed Radiograf
Pada kasus urinary calculi (calsification in luminal aspek urinary system) ureter bekerja lambat, sehingga dibutuhkan waktu 1-2 jam untuk membawa media kontras ke blass. Radiografer harus mengingat waktu pemeriksaan selanjutnya sebelum pasien keluar ruangan dan menjelaskan hal-hal penting untuk pemeriksaan selajutnya.

Trnslate by

English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google